Kamis, 05 Mei 2016

Sebentuk Batu Cincin dari Guru Mulia (Maya)

Beberapa tahun yang lalu, tepatnya tahun 2010, saya berkesempatan berkunjung ke Aceh. Ini kunjungan yang ke sekian kalinya, karena saya telah belasan kali berkunjung ke Aceh. Namun, ada pengalaman yang berbeda pada kunjungan kali ini.

Pada kunjungan di bulan May tahun 2010 ini, saya berkesempatan mengunjungi Aceh di pesisir barat, setelah pada kunjungan-kunjungan sebelumnya saya hanya sempat berkunjung, paling jauh ke Aceh Tengah, melalui jalan pesisir timur. Sebagai seorang pengagum ulama karismatis, saya berkeinginan untuk bersilaturahim dengan ulama-ulama Aceh yang jumlahnya cukup banyak. Dalam kunjungan dinas kali ini, saya berkesempatan berkunjung ke Makam seorang Abu (mungkin setingkat Kiai di tanah Jawa).

Dari rekan-rekan saya di Aceh, saya banyak mendengar cerita tentang sang Abu dan karomahnya. Dikatakan bahwa beliau telah meramalkan kejadian Tsunami 2004, hampir setahun sebelumnya, dan ini diberitahukan oleh Abu kepada salah seorang muridnya. Beliau pun sempat berkunjung kepada salah satu Presiden RI, beberapa saat sebelum beliau dipaksa turun dari kedudukannya. Berdasarkan keanehan-keanehan Abu yang meramalkan kejadian yang belum terjadi, dan cara-cara yang tidak biasa dalam mendoakan murid dan pengikutnya, banyak orang mengatakan bahwa beliau adalah salah satu wali yang hidup, saat itu. Bahkan hal ini, konon juga dikemukakan oleh Gus Dur.

Karena tertarik dengan ‘karomah’ (kemuliaan) almarhum Abu, saya berkeinginan  bertemu dengannya. Namun karena hal ini sudah tidak memungkinkan, saya sempatkan untuk berziarah ke makamnya, dan melihat dari dekat makam orang yang disebut wali. Saya sendiri memiliki kegemaran untuk bergaul dengan alim ulama di mana pun mereka berada, dan berusaha mendapatkan kesempatan didoakan oleh alim ulama tersebut. Saya juga terbiasa dengan kegiatan berziarah kubur, bukan saja ke makam orang tua sendiri, tapi juga ke makam para waliyullah yang ada. Hampir seluruh makam waliyullah yang ada di pulau Jawa sudah saya kunjungi, dan kali ini saya berkesempatan berziarah ke makam ‘waliyullah’ dari tanah Rencong, Aceh.

Di luar dugaan, makam dari seorang ‘waliyullah’ di Aceh tidaklah istimewa. Seperti juga yang makam Syiah Kuala yang ada di Banda Aceh, makam orang istimewa di Aceh tidaklah istimewa, dan sama dengan makam-makam orang biasa. Saya menyempatkan mendoakan beliau dan berdiam sejenak di makamnya.  Namun demikian, kunjungan saya di makam Abu, di Aceh Barat ini, tidak lah lebih dari 10 menit, dan bersama rombongan, kami melanjutkan perjalanan dinas ke Bener Meriah, kabupaten yang lain di Aceh.

Kisah kunjungan ke makam ‘waliyullah’ di Aceh, tidak berhenti di sini, karena ada kejadian-kejadian susulan yang cukup menarik untuk diceritakan. Di akhir kunjungan di Aceh saat itu, saya menginap di Banda Aceh, di sebuah rumah yang dijadikan mess instansi pemerintah. Mess tersebut letaknya di daerah Ulee Kareeng, Banda Aceh, yang terkenal dengan kelezatan kopinya. Saya sudah sering berkunjung ke mess tersebut, dan hampir setiap kali ke Banda Aceh, saya selalu menginap di sini. Namun demikian, kali ini pengalamannya berbeda. Di pertengahan malam saat itu, saya ketika saya tidur, saya memperoleh mimpi didatangi oleh seseorang yang mengaku sebagai sang Abu. Beliau mengucapkan terima kasih karena saya telah menyempatkan diri mendoakannya dan ingin memberi tanda mata kepada saya, berupa batu cincin. Namun demikian, batu cincin tersebut sudah dia titipkan pada seseorang di Jakarta. Dan kisah mimpi ini terlupakan begitu saya kembali ke Jakarta dan disibukkan oleh kegiatan-kegiatan rutin harian.

Beberapa bulan berikutnya, di bulan September 2010, saya berkesempatan berkenalan dengan seorang Ustad yang sering dimintai pertolongan untuk menyelesaikan masalah yang terkait dan bersifat ghaib. Ustad ini diperkenalkan kepada saya oleh seorang teman saat syukuran rumahnya di bilangan Cibinong. Ustad yang berasal dari Bogor tersebut sangat akrab dengan saya, meskipun ini kali pertama kami bertemu. Kami membicarakan banyak hal, hingga di akhir pertemuan, Ustad tersebut memberikan saya sebongkah batu seukuran bola golf. Ustad mengatakan bahwa dia menerima titipan dari seorang Ulama dari Aceh, untuk memberikan sebentuk batu kepada saya. Mulanya Ustad tersebut ragu, karena tidak mengenal saya sebelumnya, dan dia membawa batu itu kemana saja dia pergi, selama beberapa bulan terakhir. Ketika saya menanyakan nama ulama dari Aceh yang dimaksud, Ustad juga tidak mengetahuinya, dan kemudian saya tunjukkan foto ulama tersebut yang tersedia di Google, dan ternyata ulama tersebut adalah sang Abu, yang juga telah mendatangi saya dalam mimpi.

Ustad mengatakan kepada saya bahwa batu tersebut harap digosok dan dijadikan cincin dan dipakai sehari-hari. Menurut Ustad, Batu tersebut tidak mempunyai kekuatan apa pun, atau pun dapat menimbulkan manfaat atau mudharat bagi penggunanya, namun mengingat batu tersebut adalah pemberian seorang ulama yang karismatis dan berkaromah, maka ingatlah bahwa batu tersebut adalah tanda kasih sayang seorang Ulama kepada muridnya.

Menjalankan pesan dari Abu melalui Ustad, batu tersebut saya gosok, poles dan pasang pada cincin, dan ternyata cukup untuk dijadikan dua mata cincin pria. Uniknya adalah, meskipun berasal dari satu bongkah, keindahan kedua batu cincin ini sangat berbeda. Batu yang saya miliki, dikatakan banyak orang sangat indah dan berkilau, manakala batu cincin yang lainnya, yang saya berikan pada kawan saya tidak berkilau dan terlihat tidak indah. Banyak kawan yang menaksir batu yang saya miliki tersebut dan mencoba meminta, bahkan membelinya. Ahli dan penggemar batu yang saya kenal mengatakan bahwa batu tersebut adalah lumut Aceh (bahkan Ustad pun tidak mengetahui jenis batu ini). Saya tidak pernah menggunakannya sejak saya ikat menjadi batu cincin, namun saya mulai gunakan ketika demam batu akik mewabah.




Kini, tiga tahun sejak saya menggunakannya (meskipun telah saya miliki selama 6 tahun), batu ini nampak semakin memesona. Namun demikian, beberapa waktu yang lalu, saya mendapat mimpi dari Abu, yang merasa prihatin dengan kehidupan saya saat ini. Abu menyatakan bahwa Batu yang diberikannya dapat menjadi ‘penutup’ kebutuhan saya. Namun demikian Batu cincin tersebut hanya boleh dilepas sesuai dengan tingkat kebutuhan saya, tidak lebih.

Saat ini saya dihadapkan pada beberapa kebutuhan mendesak, dan berharap Batu pemberian Abu dapat dijual dengan harga yang pantas. Bagi saya nilai Batu ini tidak terhingga, karena merupakan pemberian dari seorang Abu/ulama yang tidak saya kenal sebelumnya, namun memberikan tanda cintanya kepada saya. Tanda cinta dari seorang ulama berkaromah tersebut, yang memberikan nilai tambah lebih kepada nilai fisik batu ini. Saya hanya dapat merasakah bahwa batu ini memberikan aura yang positif dan menyejukkan, tetapi saya bukan ahli yang dapat mengatakan secara pasti, bahwa siapapun akan merasakan hal yang sama. Namun, apakah batu ini akan memberi manfaat kepada pengguna berikutnya, tentu merupakan pertanyaan yang tidak dapat saya jawab.

Jikalau ada yang mau membantu saya menutup kebutuhan mendesak saya saat ini, silakan WhatsApp atau telpon ke 082210339718. Mohon tidak menghina saya, karena saya sedang berikhtiar menyelesaikan permasalahan  kehidupan saya. Saya mengharapkan penawaran langsung dari peminat, dan cocok atau tidaknya akan saya sampaikan.


Saya sengaja tidak secara eksplisit menyebutkan siapa nama Abu tersebut. Jikalau ada rejeki, dan sudah menemukan pembeli yang cocok, saya bersedia menyebutkan nama Abu tersebut. Pengalaman sebelumnya, ada orang yang mengaku murid dari seorang tokoh yang menjadi sentral cerita saya, memarahi saya karena menggunakan nama gurunya tanpa persetujuan pesantren dan pewaris sang tokoh, dan kemudian meminta semacam royalty dari penggunaan nama tersebut.