Satu lagi pengalaman terkait dengan barang gaib. Mungkin
saya ahlinya penarikan barang gaib, meskipun saya ngak punya ilmu yang cukup
untuk melakukannya. Yang saya alami selama ini dalam memiliki barang-barang
gaib adalah kebetulan-kebetulan yang mengaitkan satu hal dengan hal yang
lainnya. Dan mungkin juga sebuah kebetulan, beberapa barang gaib saya dapat
berpindah kepemilikan dengan ‘mahar’ atau ‘mas kawin’ yang banyak.
Pada posting sebelum ini saya kisahkan tentang
sejarah sebuah batu yang saya dapatkan dari seorang ‘guru maya’, karena saya
tidak pernah mengenal guru yang bersangkutan secara langsung.
Kali ini saya juga ingin menceritakan asal-usul
sebuah gelang. Gelang itu saya dapatkan beberapa wiku (bhiksu) ketika saya
berkunjung ke Medan. Di dalam Kereta cepat dalam perjalanan dari Medan ke
Kualanamu, saya bertemu dengan beberapa bhiksu Budha, yang berpakaian abu-abu. Komunikasi
dilakukan dengan Bahasa Inggris yang nyaris tidak bisa dipahami. Para bhiksu
datang dari sebuah Monastery (biara) di Thailand (untung sering nonton film
kungfu klasik keluaran Shaw Brothers, jadi paham arti kata monastery). Mereka
baru saja berkunjung ke Pagoda di Taman Alam Lumbini, di Tanah Karo, Sumatera
Utara.
Meskipun saya bukan penganut agama yang sama,
saya menghormati para bhiksu ini sebagai pemuka agama, dan mereka pun memuji
saya yang meskipun berlainan agama, tidak menunjukkan rasa benci atau penolakan
terhadap mereka. Saya bahkan dapat sedikit berdakwah, bahwa ajaran saya
menghormati pilihan hidup beragama umat lain, dan itu yang saya coba amalkan.
Di akhir pertemuan, saya memberikan sebuah gelang,
yang terbuat dari Red Coral (Marjan = Karang Merah), dan saya katakan bahwa
batu marjan adalah salah satu batu berharga yang disebut di dalam kitab suci
kami. Sayangnya saya hanya punya satu gelang, sedangkan mereka ada 12 orang. Namun
demikian mereka semua berterima kasih dan berjanji akan memberikan saya tanda
mata jika kita bertemu lagi. Saya tidak begitu berharap, karena saya tidak berencana
akan bepergian ke negaranya, serta kami belum sempat bertukar alamat.
Kisah pertemuan dengan 12 orang bhiksu itu tidak
berakhir saat pertemuan itu berakhir. Beberapa minggu kemudian, saya mengalami
sakit jantung berdebar. Kemudian saya pergi berobat ke tempat terapi akupuntur
(tusuk jarum) langganan yang lokasinya ada di daerah Kelapa Gading. Sinshe yang
mengobati saya mengatakan bahwa saya mengalami kelelahan akibat banyaknya pekerjaan
saya saat itu. Selain meresepkan beberapa jenis ramuan, beliau juga memberikan
saya sebentuk gelang. Gelang tersebut terbuat dari kayu Agathis, atau Raja Kayu
Merah. Menurut Sinshe, beliau menggunakan gelang tersebut untuk terapi pasien
yang bermasalah dengan organ jantung dan tekanan darah tinggi. Ternyata beliau
juga menggunakan pendekatan energy, getaran dan bioritme dalam membantu
pengobatan pasiennya.
Mengingat harga dari gelang tersebut yang 1,2
juta rupiah, saya mengatakan belum dapat membelinya, karena tidak membawa cukup
uang. Padahal sesungguhnya, meskipun saya juga seorang yang mengamalkan
pengobatan dengan pendekatan holistic, saya tidak berkeinginan membeli gelang
tersebut, meskipun memberikan vibrasi yang baik dan positif. Ternyata Sinshe memaksa
karena berniat memberikan gelang tersebut kepada saya. Beliau mengisahkan,
beberapa waktu yang lalu beliau berkunjung ke Bangkok, Thailand untuk ziarah. Di
sebuah pagoda, saat sinshe berdoa, beliau ditemui oleh 12 orang bhiksu.
Mengetahui bahwa sinshe berasal dari Indonesia, mereka ingin agar sinshe
memberikan sebentuk gelang kepada seseorang di Indonesia, dengan ciri-ciri
tertentu. Para rahib mengatakan bahwa orang yang akan diberi gelang itu adalah ‘sahabat’
baik mereka dari Indonesia. Sebentuk gelang yang diberikan telah diberikan ‘blessing’
oleh para rahib/bhiksu tersebut.
Ketika saya memasuki ruang praktek, Sinshe merasa
bahwa sayalah orang yang harus diberi gelang tersebut. Untuk meyakinkannya,
Sinshe melakukan hypnotherapy pada saya dan mendapatkan konfirmasi bahwa saya
pernah bertemu 12 rahib Thailand tersebut beberapa bulan yang telah lalu.
Sekali lagi saya mendapatkan barang dari sumber
yang ‘gaib’, dan saya menghargai setiap pemberian, baik dari yang gaib mau pun
dari entitas yang nyata. Namun, jika ada yang berminat pada benda tersebut,
saya bersedia menukarnya dengan nominal yang disepakati bersama. Maharnya pasti
lebih tinggi dari nilai barang tersebut, karena nilai sentimental dan historis
kepemilikan benda tersebut.