Beberapa tahun yang lalu,
tepatnya tahun 2010, saya berkesempatan berkunjung ke Aceh. Ini kunjungan yang
ke sekian kalinya, karena saya telah belasan kali berkunjung ke Aceh. Namun, ada
pengalaman yang berbeda pada kunjungan kali ini.
Pada kunjungan di bulan May tahun
2010 ini, saya berkesempatan mengunjungi Aceh di pesisir barat, setelah pada
kunjungan-kunjungan sebelumnya saya hanya sempat berkunjung, paling jauh ke
Aceh Tengah, melalui jalan pesisir timur. Sebagai seorang pengagum ulama
karismatis, saya berkeinginan untuk bersilaturahim dengan ulama-ulama Aceh yang
jumlahnya cukup banyak. Dalam kunjungan dinas kali ini, saya berkesempatan
berkunjung ke Makam seorang Abu (mungkin setingkat Kiai di tanah Jawa).
Dari rekan-rekan saya di Aceh,
saya banyak mendengar cerita tentang sang Abu dan karomahnya. Dikatakan bahwa
beliau telah meramalkan kejadian Tsunami 2004, hampir setahun sebelumnya, dan
ini diberitahukan oleh Abu kepada salah seorang muridnya. Beliau pun sempat
berkunjung kepada salah satu Presiden RI, beberapa saat sebelum beliau dipaksa
turun dari kedudukannya. Berdasarkan keanehan-keanehan Abu yang meramalkan kejadian
yang belum terjadi, dan cara-cara yang tidak biasa dalam mendoakan murid dan
pengikutnya, banyak orang mengatakan bahwa beliau adalah salah satu wali yang
hidup, saat itu. Bahkan hal ini, konon juga dikemukakan oleh Gus Dur.
Karena tertarik dengan ‘karomah’
(kemuliaan) almarhum Abu, saya berkeinginan bertemu dengannya. Namun karena hal ini sudah
tidak memungkinkan, saya sempatkan untuk berziarah ke makamnya, dan melihat
dari dekat makam orang yang disebut wali. Saya sendiri memiliki kegemaran untuk
bergaul dengan alim ulama di mana pun mereka berada, dan berusaha mendapatkan
kesempatan didoakan oleh alim ulama tersebut. Saya juga terbiasa dengan
kegiatan berziarah kubur, bukan saja ke makam orang tua sendiri, tapi juga ke
makam para waliyullah yang ada. Hampir seluruh makam waliyullah yang ada di
pulau Jawa sudah saya kunjungi, dan kali ini saya berkesempatan berziarah ke
makam ‘waliyullah’ dari tanah Rencong, Aceh.
Di luar dugaan, makam dari
seorang ‘waliyullah’ di Aceh tidaklah istimewa. Seperti juga yang makam Syiah
Kuala yang ada di Banda Aceh, makam orang istimewa di Aceh tidaklah istimewa,
dan sama dengan makam-makam orang biasa. Saya menyempatkan mendoakan beliau dan
berdiam sejenak di makamnya. Namun
demikian, kunjungan saya di makam Abu, di Aceh Barat ini, tidak lah lebih dari
10 menit, dan bersama rombongan, kami melanjutkan perjalanan dinas ke Bener
Meriah, kabupaten yang lain di Aceh.
Kisah kunjungan ke makam ‘waliyullah’
di Aceh, tidak berhenti di sini, karena ada kejadian-kejadian susulan yang
cukup menarik untuk diceritakan. Di akhir kunjungan di Aceh saat itu, saya
menginap di Banda Aceh, di sebuah rumah yang dijadikan mess instansi pemerintah.
Mess tersebut letaknya di daerah Ulee Kareeng, Banda Aceh, yang terkenal dengan
kelezatan kopinya. Saya sudah sering berkunjung ke mess tersebut, dan hampir setiap
kali ke Banda Aceh, saya selalu menginap di sini. Namun demikian, kali ini pengalamannya
berbeda. Di pertengahan malam saat itu, saya ketika saya tidur, saya memperoleh
mimpi didatangi oleh seseorang yang mengaku sebagai sang Abu. Beliau
mengucapkan terima kasih karena saya telah menyempatkan diri mendoakannya dan
ingin memberi tanda mata kepada saya, berupa batu cincin. Namun demikian, batu
cincin tersebut sudah dia titipkan pada seseorang di Jakarta. Dan kisah mimpi ini terlupakan begitu saya kembali
ke Jakarta dan disibukkan oleh kegiatan-kegiatan rutin harian.
Beberapa bulan berikutnya, di
bulan September 2010, saya berkesempatan berkenalan dengan seorang Ustad yang
sering dimintai pertolongan untuk menyelesaikan masalah yang terkait dan bersifat ghaib. Ustad ini
diperkenalkan kepada saya oleh seorang teman saat syukuran rumahnya di bilangan
Cibinong. Ustad yang berasal dari Bogor tersebut sangat akrab dengan saya,
meskipun ini kali pertama kami bertemu. Kami membicarakan banyak hal, hingga di
akhir pertemuan, Ustad tersebut memberikan saya sebongkah batu seukuran bola
golf. Ustad mengatakan bahwa dia menerima titipan dari seorang Ulama dari Aceh,
untuk memberikan sebentuk batu kepada saya. Mulanya Ustad tersebut ragu, karena
tidak mengenal saya sebelumnya, dan dia membawa batu itu kemana saja dia pergi,
selama beberapa bulan terakhir. Ketika saya menanyakan nama ulama dari Aceh yang
dimaksud, Ustad juga tidak mengetahuinya, dan kemudian saya tunjukkan foto
ulama tersebut yang tersedia di Google, dan ternyata ulama tersebut adalah sang
Abu, yang juga telah mendatangi saya dalam mimpi.
Ustad mengatakan kepada saya
bahwa batu tersebut harap digosok dan dijadikan cincin dan dipakai sehari-hari.
Menurut Ustad, Batu tersebut tidak mempunyai kekuatan apa pun, atau pun dapat menimbulkan
manfaat atau mudharat bagi penggunanya, namun mengingat batu tersebut adalah
pemberian seorang ulama yang karismatis dan berkaromah, maka ingatlah bahwa
batu tersebut adalah tanda kasih sayang seorang Ulama kepada muridnya.
Menjalankan pesan dari Abu
melalui Ustad, batu tersebut saya gosok, poles dan pasang pada cincin, dan
ternyata cukup untuk dijadikan dua mata cincin pria. Uniknya adalah, meskipun
berasal dari satu bongkah, keindahan kedua batu cincin ini sangat berbeda. Batu
yang saya miliki, dikatakan banyak orang sangat indah dan berkilau, manakala
batu cincin yang lainnya, yang saya berikan pada kawan saya tidak berkilau dan
terlihat tidak indah. Banyak kawan yang menaksir batu yang saya miliki tersebut
dan mencoba meminta, bahkan membelinya. Ahli dan penggemar batu yang saya kenal
mengatakan bahwa batu tersebut adalah lumut Aceh (bahkan Ustad pun tidak
mengetahui jenis batu ini). Saya tidak pernah menggunakannya sejak saya ikat
menjadi batu cincin, namun saya mulai gunakan ketika demam batu akik mewabah.
Kini, tiga tahun sejak saya
menggunakannya (meskipun telah saya miliki selama 6 tahun), batu ini nampak semakin
memesona. Namun demikian, beberapa waktu yang lalu, saya mendapat mimpi dari
Abu, yang merasa prihatin dengan kehidupan saya saat ini. Abu menyatakan bahwa
Batu yang diberikannya dapat menjadi ‘penutup’ kebutuhan saya. Namun demikian Batu
cincin tersebut hanya boleh dilepas sesuai dengan tingkat kebutuhan saya, tidak
lebih.
Saat ini saya dihadapkan pada
beberapa kebutuhan mendesak, dan berharap Batu pemberian Abu dapat dijual
dengan harga yang pantas. Bagi saya nilai Batu ini tidak terhingga, karena
merupakan pemberian dari seorang Abu/ulama yang tidak saya kenal sebelumnya,
namun memberikan tanda cintanya kepada saya. Tanda cinta dari seorang ulama
berkaromah tersebut, yang memberikan nilai tambah lebih kepada nilai fisik batu
ini. Saya hanya dapat merasakah bahwa batu ini memberikan aura yang positif dan
menyejukkan, tetapi saya bukan ahli yang dapat mengatakan secara pasti, bahwa
siapapun akan merasakan hal yang sama. Namun, apakah batu ini akan memberi
manfaat kepada pengguna berikutnya, tentu merupakan pertanyaan yang tidak dapat
saya jawab.
Jikalau ada yang mau membantu
saya menutup kebutuhan mendesak saya saat ini, silakan WhatsApp atau telpon ke 082210339718.
Mohon tidak menghina saya, karena saya sedang berikhtiar menyelesaikan
permasalahan kehidupan saya. Saya mengharapkan
penawaran langsung dari peminat, dan cocok atau tidaknya akan saya sampaikan.
Saya sengaja tidak secara
eksplisit menyebutkan siapa nama Abu tersebut. Jikalau ada rejeki, dan sudah
menemukan pembeli yang cocok, saya bersedia menyebutkan nama Abu tersebut.
Pengalaman sebelumnya, ada orang yang mengaku murid dari seorang tokoh yang
menjadi sentral cerita saya, memarahi saya karena menggunakan nama gurunya
tanpa persetujuan pesantren dan pewaris sang tokoh, dan kemudian meminta
semacam royalty dari penggunaan nama tersebut.